Mentari telah beranjak tinggi saat sejumlah polisi
hutan menyusup ke rerimbunan hutan akasia di kawasan Taman Nasional
Baluran, Jawa Timur. Sepatu bot dan golok tebas melengkapi perjalanan
mereka.
Tak lama kemudian, ”Braaak...!” Sebatang pohon
berdiameter sekitar 20 sentimeter pun tumbang. Aksi penebangan ini bukan
perusakan lingkungan. Itu bagian dari aksi menyelamatkan ekosistem
savana di Baluran yang terus tergusur akibat masifnya pertumbuhan akasia
(Acacia nilotica).
”Supaya tidak tumbuh lagi, bekas tebangan pohon akasia ini harus dilumuri cairan herbisida,” ujar Hendri, kemarin.
Apa
yang dilakukan polisi hutan ini adalah bagian dari upaya mempertahankan
jati diri Baluran. Sebagai salah satu taman nasional tertua di
Indonesia, Baluran lekat dengan julukan ”Africa van Java”.
Hamparan
savana, satwa liar, dan sengatan mataharinya yang terik, membuat
pesonanya bak alam liar Afrika. ”Suhu saat musim kemarau bisa 40 derajat
celsius,” kata Kepala Taman Nasional Baluran Emy Endah Suwarni.
Berjarak
253 kilometer dari Surabaya, Taman Nasional (TN) Baluran cukup mudah
dijangkau karena terletak di tepi jalur pantai utara Jawa Timur.
Letaknya di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, berbatasan dengan
Banyuwangi.
Dari luas TN Baluran yang mencapai 25.000 hektar,
awalnya sekitar 10.000 hektar di antaranya berupa savana yang terbentang
di berbagai penjuru taman nasional. Savana menjadi habitat banteng jawa
(Bos javanicus), rusa timor (Cervus timorensis), hingga kerbau liar (Bubalus bubalis).
Salah
satu savana terbesar di Baluran adalah savana Bekol, seluas 300 hektar.
Dari pintu gerbang taman nasional, pengunjung hanya perlu menempuh
jarak 12 kilometer untuk masuk ke Bekol. Gunung Baluran setinggi 1.247
meter di atas permukaan laut (mdpl) menjulang kokoh di hadapan savana
ini.
Namun, savana di Baluran, termasuk Bekol, kini terancam oleh
ekspansi akasia. Pesatnya pertumbuhan akasia di Baluran berawal ketika
seringnya kebakaran melanda Baluran pada akhir tahun 1960-an. Pihak TN
Baluran kemudian berinisiatif menanam akasia yang berfungsi sebagai
sekat bakar untuk mencegah api menjalar.
Akasia yang tumbuh
berjajar mengelilingi savana berhasil menjadi sekat bakar yang efektif.
Namun, tanaman yang semula kawan ini menjelma menjadi gulma karena
pertumbuhannya invasif dan tak terkendali. Tak hanya api yang diredam,
savana pun turut dihabisi.
Luas savana yang semula 10.000 hektar
kini tinggal 3.000 hektar. Khusus savana Bekol yang awalnya seluas 500
hektar menyusut menjadi 300 hektar. Penyusutan savana ini diikuti
berkurangnya populasi hewan, terutama banteng jawa.
Berdasarkan
sensus satwa TN Baluran tahun 1996, populasi banteng jawa mencapai 338
ekor. Namun, sensus tahun 2012 menyebutkan jumlahnya tinggal 26 ekor.
.
”Menyusutnya savana membuat sumber air dan pakan bagi banteng makin
terbatas,” ucap Emy yang belum pernah melihat langsung banteng jawa.
Tahun
1986, pengunjung dan petugas dapat dengan mudah menemukan kerumunan
banteng dari atas menara pandang. Namun, saat ini, banteng sangat sulit
ditemui.
Kendatipun berpacu
dengan sang waktu dalam menghadapi dahsyatnya akasia, Baluran tetap menjadi magnet
bagi pengunjung. Hal ini terlihat dari peningkatan angka kunjungan
wisatawan dari tahun ke tahun. Jumlah pengunjung tahun 2010 sebanyak
15.188 orang, kemudian melonjak menjadi 28.851 orang pada 2011 dan
32.674 orang pada 2012.
Nama Baluran bahkan telah mendunia. Turis
asing pun silih berganti mendatangi tempat ini. Contohnyai Jack (39)
dan Imagine (39), pasangan kekasih dari London, Inggris, yang singgah ke
Baluran dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Bali. ”Kami ingin lihat
binatang liar dan savana. Ternyata sangat menyenangkan,” kata Jack.
”Serasa
di alam liar. Itu baru saja lihat rusa saat safari malam,” ujar Berbudi
Bintang Pratama (17), siswa kelas XI SMA Madania Bogor, Jawa Barat.
Bintang bersama 48 siswa jurusan Biologi SMA Madania mengunjungi Baluran
dalam rangka studi lapangan.
Seorang polisi hutan, Siswanto,
mengatakan, tidak setiap saat satwa liar di Baluran dapat dengan mudah
ditemui. Untuk itu, pihak taman nasional sengaja membuat kubangan
sebagai tempat minum satwa sehingga mereka berkumpul.
Binatang
buas, seperti macan tutul dan kucing bakau, sebenarnya masih ada meski
sulit sekali ditemui. Jauh sebelum ditetapkan sebagai taman nasional
pada 1982, kawasan ini terkenal dengan binatang buas yang berkeliaran di
padang ilalang.
Penjelajah Inggris, John Joseph Stockdale, dalam
buku Island of Java menuliskan, jalan dari Ketapang, Banyuwangi, menuju
Panarukan tahun 1805 pada kedua sisinya diapit oleh ilalang yang rapat.
Dalam perjalanannya, dia melewati gurun, padang rumput, dan sungai.
Jejak harimau pun mudah ditemui.
Sebagai areal yang dilindungi,
Baluran terbagi atas tujuh zona, yakni zona inti seluas 6.920 hektar,
zona rimba (12.604 hektar), zona perlindungan bahari (1.174 hektar),
zona pemanfaatan (1.856 hektar), zona tradisional (1.340 hektar), zona
rehabilitasi (365 hektar), dan zona khusus (738 hektar). Kebanyakan
satwa berada di zona inti dan rimba.
Baluran juga memiliki hutan
pantai, mangrove, hutan rawa asin, hutan payau, hutan hujan tropis
pegunungan, hutan musim, padang lamun, dan gugusan terumbu karang.
Sejumlah
ekosistem itu membuat Baluran memiliki keanekaragaman hayati tinggi.
Taman nasional ini dihuni setidaknya oleh 461 spesies flora, 28 jenis
mamalia, dan 225 jenis burung. Belum lagi beragam jenis ikan dan reptil.
Namun,
kekayaan flora dan fauna ini terancam tenggelam jika bumi Afrika di
Jawa ini kehilangan identitasnya, yakni ekosistem savana. Inilah
pergulatan akibat kekeliruan masa silam.(ans/har)
Home »
BERITA INTERNASIONAL
» Mengintip Populasi Rusa Banteng Jawa di TN Baluran
Mengintip Populasi Rusa Banteng Jawa di TN Baluran
Written By Unknown on Senin, 03 Juni 2013 | Senin, Juni 03, 2013
Label:
BERITA INTERNASIONAL
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !