Sudah terlalu lama kami sebagai generasi
penerus bangsa di Indonesia terhipnotis budaya kolonial.
Bukan bersumber dari nature
dan
chulture pondations budaya alami bangsa sendiri sehingga
keanekaragaman budaya Bangsa Indonesia yang eksotik tak lagi di pijak, di
dengar, di turut, dihayati, dijaga,
diamalkan
dan dilestarikan. Intinya
budaya bangsa sudah tergantikan dengan budaya hedonis, pragmatis dan
materialistis. Akibatnya tak mudah seperti membalikkan
telapak tangan memperlakukan remaja yang sudah terkontaminasi budaya barat, harus melalui pendekatan berlika-liku sepertihalnya pendekatan secara mental, spiritual dan spikology. Pendekatan mereka pada intinya membutuhkan waktu.
Tak
sedikit seorang remaja secara kharakter spikologi dan pemikirannya terbentuk
dari berbagai macam peristiwa yang justru menjadikan dirinya sebagai sumber
masalah terhadap lingkungan, keluarga, bangsa dan negaranya. Seperti halnya
perkelahian berkelompok (perkelaihan
massal) atau membentuk geng yang aktifitasnya cenderung meresahkan masyarakat,
timbulnya gay, homo
atau lesbi, pergaulan bebas yang timbulnya aborsi, timbulnya HIV dan AIDS
sendiri, hadirnya narkoba dengan putaow dan masih banyak lagi persoalan remaja di dalam masyarakat sekitar kita.
Memang Pekerjaan kita belumlah selesai, artinya kita
memiliki keanekaragaman budaya belum dianggap sebagai pemersatu budaya secara
alami melainkan masih dianggap sebagai kekurangan dan keterpecah belahan bahkan
komoditi pariwisata untuk pesona materialiastis semata. Hal inilah penyebab
kekurang-tahuan dalam memahami berbangsa dan bernegara Republik Indonesia
sebagai peran, fungsi serta penggerak kehidupan sosial kemasyarakatan. Fatalnya
masalah ini dimanfaatkan oleh kaum aggressor untuk invansi komoditi
(investor,red) untuk mengerok kekayaan sumber daya alam dan tenaga kerja murah.
Bukannya anti terhadap investor, mereka perlu tapi tidak penting. Justru yang
penting adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di daerah setempat. Bilamana
para generasi muda calon pemimpin (sebagai generasi penerus) bias menangkap
inti sari arti keadilan dan persatuan bagi seluruh rakyat Indonesia itu maka
celakalah bangsa dan negara kita ini.
Sebenarnya keanekaragaman merupakan modal dasar untuk
membentuk satu kekuatan agar mendorong kita menciptakan unsur satu peradaban budaya
asli dari berbagai macam suku. Peleburan antara seni budaya tersebut akan
menjadikan diri kita dewasa dan matang dalam menghadapi tantangan maupun
hambatan dimasa mendatang. Coba pahami, antara seni tari dengan seni tari
lainnya yang bila digabungkan menjadi satu makna akan tercipta tari Indonesia
asli tanpa harus mengekport tari luar negeri. Pada dasarnya
Ki Hajar Dewantara telah memperingatkan kepada kita.
“Janganlah
tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, janganlah juga terikat oleh
rasa konservatif atau rasa sempit. Tetapi cocokkanlah semua barang dengan
kodradnya”. Dari sepenggal ucapan Ki Hajar Dewantara itu, bila
kita jeli dengan kondisi Negara kita sekarang ini timbullah pertanyaannya. Kepribadian
Pendidikan di bidang Kebudayaan Bangsa Indonesia mau dikemanakan?
Pemuda dan pemudi sebagai penerus keabadian bangsa
harus mampu menjaga Persatuan dan kesatuan seluruh Indonesia. Sudah ditegaskan,
Bung
Karno menyebut bangsa
Indonesia ini dengan nama Dipa Nusantara,
artinya bangsa yang terletak di geografis jambrut khatulistiwa memiliki satu
kehendak untuk berkeadilan dalam bentuk persatuan walaupun Nusantara ini
berpulauan, beraneka ragam suku, ras, agama/kepercayan, golongan namun berkehendak
untuk duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Sehingga menyatu dalam wadah
persatuan yaitu Negara Republik Indonesia.
Bilamana hal itu (berkeadilan dalam bentuk persatuan)
tidak terwakili maka tumbuhlah gejolak dan pemberontakan di semua lini
kehidupan rakyat dan negara. Contoh dalam realita dimasyarakat akhir-akhir ini
yaitu timbulnya perampokan, pemaksaan kehendak baik secara budaya, ekonomi dan
politik. Perampokan di sini jangan ditinjau dari segi materi akan tetapi dari
segi pemaksakan kehendak. Pemaksaan terhadap ekploitasi manusia atas manusia,
manusia atas golongan, golongan atas manusia, golongan atas golongan dan negara
atas rakyatnya. Tidak dapat ditampik bahwasanya adalah kepentingan kelompoklah
maupun kepentingan pribadilah, intinya mengarah perekonomiannya dan
kepolitikannya. Maka tumbuhlah prilaku praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Timbulnya TAP MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme, di pertegas melalui.
1.
Undang - Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme;
2.
Undang - Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dua
kali, terakhir dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844).
Untuk mengantisipasi
praktek-praktek merugikan bagi kehidupan penyelenggaraan bernegara tersebut.
Bung
Karno pun juga telah menegaskan “Oleh karena itu, sekali lagi saya katakan.
Bahwa kita, di dalam segala kebelakangan kita itu. Berada di dalam posisi manfaat pula, yaitu
dapat mencerminkan mayarakat Republik Indonesia yang hendak kita susun itu. Kepada pengalaman-pengalaman masyarakat
perempuan dinegeri-negeri yang telah maju. Pelajarilah! Lebih dahulu dalam-dalam.
Pergerakan-pergerakan perempuan di Eropa, sebelum kita mengoper saja segala
cita-citanya dan sepak terjangnya!”.
Didalam
Buku Sarinah dengan Judul KEWAJIBAN WANITA DALAM PERJUANGAN REPUBLIK
INDONESIA karangan Ir. Soekarno bab I,
halaman 11.
Sebagai
generasi penerus bangsa, pemuda/pemudi
terletak pada posisi
tulang punggung negara.
Untuk mencapai generasi bangsa di posisi tulang punggung negara
hal ini tentunya
melibatkan dunia pendidikan, lingkungan dan keluarga
dalam membentuk kemampuan
serta mental karakter anak. Namun
terbentuknya spikology remaja putri dan putra tidak cukup hanya ditentukan pada
dunia
pendidikan, lingkungan dan
keluarga akan tetapi ditentukan oleh kemampuan individu anak dalam memecahkan
persoalan yang dihadapinya. Melalui event organitions, yaitu berbagai
perkumpulan kepemudaan, olah raga, kesenian dan lain sebagainya. Event Organitions,
merupakan alat yang tepat dalam menempa jiwa-jiwa individu generasi bangsa di
masa akan datang.
Bung
Karno pernah mengatakan “Berikan aku seratus orang tua, akan aku pindahkan gunung Semeru atau
berikan sepuluh
pemuda gemblengan,
akan aku
jungkir balikkan dunia....”.
Bung
Karno telah mengingatkan bahwa pemuda dan pemudi jangan pernah ditinggalkan dan
dibatasi perannya. Kenapa hal itu dikatakan atau diingatkan Bung Karno? Bung
Karno mengerti energi dan motivasi remaja, mereka memiliki high power kualitas
dan kuantitas dalam menciptakan perubahan. Bilamana mereka tidak diberikan
peran dalam aktifitasnya akan merusak tatanan hidupnya, keluarganya,
lingkungannya dan bangsanya. Sebaliknya, apabila generasi muda di suatu negara
diposisikan pada perannya untuk berkarya maka dunia tak akan meremehkan bangsa
dan negara tersebut.
Jas Merah, jangan
sekali-kali melupakan sejarah
Perkataan Jhon Seelay, “Kita mempelajari sejarah untuk
menjadi bijaksana.…..”.
Kebangkitan Nasioanal ke-2 sangatlah erat dan saling
keterkaitan, bahkan bila kita jeli kebangkitan ini merupakan kelahiran gerakan
politik, sosial dan budaya. Pergerakan Boedi Oetomo (1908) kemudian melahirkan
Sumpah Pemuda (1928). Suatu gerakan pemuda-pemudi Indonesia memperjuangkan
nasib bangsanya yang dimiskinkan oleh sistem kolonialisme Belanda. Padahal saat
itu mengunakan sistem “politik etik” 1905 (edukasi, irigasi dan emigrasi)
justru mengakibatkan kemerosotan kesejahteraan (declining welfare). Ke-3 program Anti Kemiskinan pemerintahan
Belanda ini ternyata tidak untuk mengurangi kemiskinan penduduk pribumi,
melainkan di dalam prakteknya hanya untuk kepentingan perusahaan-perusahaan
pemerintahan kolonial saja.
Di dalam buku “Indonesia Menggugat”, Ir. Soekarno
secara panjang lebar menguraikan kejahatan ekonomi, plitik dan budaya penjajah
yang bagaikan parasit.
“Kerajaan
satu-persatu dihambakan. Ekonomi, Politik dan Budaya rakyat oleh system
monopoli, contigenten dan leverantien. Sama sekali dipersempit, sama sekali di
desak dan di padamkan…. (Soekarno, 1930: 35).
Akan tetapi pada saat pemerintahan Indonesia di pimpin oleh Orde Baru,
telah melaksanakan pembangunan ekonomi yang berlandaskan dasar budaya-liberal
dan liberal ini telah berganti wajah lebih maju lagi yaitu di sebut Neoliberal
disingkat Neolib. Budaya neolib yang mendunia beriringan dengan berkembangnya
globalisme telah melulu lantakkan keadilan, kemanusiaan, semangat persatuan,
kesatuan dan kebangsaan yang bersemi dalam Kebangkitan Nasional ke-2 Boedi
Oetomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928) tersebut.
Akhir kekuasaan
Orde Baru, ditandai oleh kebangkitan nasional yang dirintis pemuda dan
mahasiswa Indonesia tahun 1997-1999. Pergerakan kebangkitan nasioanal era
reformasi total 1997-1999 ini sedang di uji. Bagaimana pun, Indonesia sudah
sepantasnya kembali ke jati diri. Percaya pada diri sendiri, yaitu nations and character building bangsa
Indonesia. Semangat kekeluargaan dan gotong royong sebagaimana terkandung dalam
Pnacasila 1 Juni 1945 sebagai dasar Negara Indonesia.
Tergambar
jelas dalam Jas Merah
Sudah
selama 32 tahun di tambah
dengan pemerintahan sekarang ini secara keseluruhan pemuda/pemudi bangsa Indonesia
menderita menjadi komoditas penyeragaman atas kebijakan pemerintah dan
termiskinkan secara teori ilmu pengetahuan atau pun di dalam implementasinya
oleh sistem Developmentalisme (modernisasi) karya Evsey Harrod, Roy Domar,
Weber (dengan etika Protestan-nya), Mc Clelland (teori n-Ach-nya) dan diperkuat
oleh teoritis liberal barat lainnya semisal : Rostow, Hoselitz, Inkeles, Smith,
dsb. Padahal kalau kita jeli mengupas masalah ini akan ditemukan inti dasar
penyimpangan kebijakan pemerintahan.
Perlu
kita pahami basic pemerintahan Liberal-Kapitalis.
Pemerintahan ini mempraktekkan developmentalisme dengan konsep deterministic
yaitu meletakkan pembangunan dalam arti hanya focus ekonomi, material, dan
bersifat fisik; tanpa mempertimbangkan ruang kontrol sosial, karakter, nilai, dan budaya
yang hidup dan berkembang di masyarakat setempat.
Jadi
harapan yang dibangun pemerintahan untuk generasi mudanya adalah hutopis. Adapun pengetrapan
ide developmentalisme yang berbasiskan pada hipotesa persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan sebagai akibat dari tata nilai dan kelembagaan tradisional
domestik
yang tak kondusif dalam menopang idea of
progress tak berimbang dengan yang diamanatkan oleh pendiri bangsa atas budaya berlaku di Nusantara ini.
Penganutnya
menegaskan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan disebabkan oleh factor-faktor
internal yang tidak transformasi ke dalam tata nilai dan kelembagaan modern.
Cara pandang penganutnya dapat di gambarkan: “Kapal Globalisasi yang
diproduksi oleh tatanan ekonomi yang liberal-kapitalis terbukti cuma mampu
menciptakan sebuah kapal dunia yang bobrok: 15% penumpang kapal tinggal di
kelas eksekutif yang super mewah dengan berbagai fasilitas canggih, sementara
85% sisanya tinggal di kabin-kabin yang kotor, berkarat, sesak, penuh penyakit,
dan terancam kelaparan”. (Jurnal
analisa social, ekonomi, politik dan hukum perburuhan, Vol. 1 No 2, Sept. 2003.
ALNI Indonesia. Judul “Pembangunan dan Kemiskinan”, oleh Bpk Launa). Di halaman 5-7.
Artinya
bagi mereka menganut globalisme sebagai landasan hidupnya tidak lagi suatu
solusi tepat melainkan suatu petaka. Kita contohkan Negara Amerika Serikat itu
sendiri, selama ini menjadi model baku pembangunan dan sumber inspirasi ekonomi
kapitalis paling sukses bagi kemajuan ekonomi, politik, dan sosial budaya dunia
baik menyangkup di bidang pendidikan generasi muda di negara itu. Kini
dipandang secara sinis sebagai agen utama penyebab timbulnya kemiskinan
kuwalitas generasi bangsa sendiri (di Amerika sendiri, red.) baik secara
struktur vertikal dan horisontal. Selain itu, di negara-negara berkembang bukan
lagi kemiskinan atau komunisme yang menjadi musuh utama, melainkan ekspansi dan
hegemoni Barat (benua Eropa, red) di bidang ekonomi, budaya, sosial dengan
segala atributnya serta target utama mereka adalah mengoptasi prilaku maupun
pemikiran generasi penerus di negara-negara berkembang.
Pengertian
Revolusi
Revolusi
merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses
pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali.
Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan
menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi
bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari
struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat,
sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Dibandingkan dengan bentuk perubahan sosial lain, revolusi berbeda dalam lima
hal.
1. menimbulkan
perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat
: ekonomi, politik, kultur, organisasi sosial, kehidupan sehari-hari dan
kepribadian manusia.
2. perubahannya
radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial.
3. perubahan
yang terjadi sangat cepat dan tiba-tiba
4.
revolusi adalah pertunjukkan perubahan
paling menonjol, waktunya luar biasa cepat dan karena itu sangat mudah diingat.
Revolusi membangkitkan
emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan
mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegembiraan, optimisme dan harapan.
Bung
Karno pernah mengingatkan dalam pidato pertanggung jawaban di depan MPRS, yang
berjudul Nawaksara ada tiga point
penting, salah satu isinya mengatakan, “waspadai licin dan lihainya Imperialisme dan
Kolonialisme”.
“Karena itu semua Angkatan Penegas berkata:
Harus berdiri di platform revolusioner. Apa
yang dinamakan revolusioner, revolusioner di dalam arti umgestaltung von
grundauf, perubahan readikal revolusioner di dalam arti cukup dengan kehendak
zaman yang cepat, revolusioner di dalam arti menentang kepada imperialisme.
Semua golongan yang ikut aliran zaman yang cepat, semua golongan yang hendak
menumbangkan imperialisme, semua golongan itu adalah revolusioner.”
(Pidato Soekarno Kuliah Umum di Istana Negara, Jakarta 22 Mei 1958)
(Pidato Soekarno Kuliah Umum di Istana Negara, Jakarta 22 Mei 1958)
Teori dan hipotesa pemikiran di atas
tersebut, perlunya jalan tenggah sesuai ideologi bangsa yaitu dilandasi dengan
semangat Pancasilais (Pancasila, 1 Juni 1945), Trisila dan Ekasila yaitu Gotong
Royong dalam cultur dan natur budaya diimplementasikan berbentuk character
prilaku dan pemikiran remaja yaitu adanya wujud nyata dalam mengupayakan
pikiran/ide guna mendapatkan solusi persoalan remaja yang belum sama sekali
tuntas dan tersentuh program kerja pemerintah sendiri saat ini.
Cara pandang (dogma) kaum muda/mudi bangsa Indonesia tumbuh kesadaran,
kepercayaan diri bahkan mampu berkepribadian pada nilai-nilai kultur dan natur
budaya luhur.
Menumbuh kembangkan keyakinan kuwalitas di
diri remaja atas dasar Pre-kemanusian dan persatuan sehingga
tanggap untuk membendung dan menyerang balik dari pada bentuk-bentuk penghancur
bangsa sendiri atau pun penindasan gaya baru yaitu arus modernis (Globalisasi-Neolib) yang semakin
berkembang dan menggurita. Oleh sebab itulah pemuda/pemudi sebagai generasi penerus bangsa harus
bekerja keras dalam rangka mengupayakan, mengoptimalkan serta berusaha
mewujudkan bentuk-bentuk kerja nyata guna menciptakan harmonisasi-humanis antar
generasi penerus khususnya demi terwujud tatanan masyarakat berkuwalitas
intelektual atas dasar prikemanusian ber-charracter
building bangsa dan negara baik di dalam bidang kemampuan individu atau
kelompok.
Kami
sadar bahwa pisau bedah analisa Dialektika-Gotong Royong-lah paling cocok dalam
mewujudkan Amanat Penderitaan Rakyat dan melanjutkan ke cita-cita Mencapai
Indonesia Merdeka dengan jalan menghantarkan generasi muda/mudi ke depan pintu
gerbang Jembatan Emas Kemerdekaan bangsa Indonesia. Agar terwujudnya
Kemerdekaan Indonesia 100%. Walaupun dalam perjalanaan nanti kita akan temui
segala macam pengorbanan
putra/putrid terbaik.
Akan
tetapi dengan amunisi yang telah diberikan Bung Karno pada pidatonya 1 Juni 1945, di Gedung Dokuritsu Subi
itu telah lebih dari pada cukup membangkitkan kembali semangat juang kita
dalam mengkorbarkan
semangat ideolaogi Ekasila (red, Gotong Royong). Ekasila adalah hasil perasan
daripada ideology Pancasila dan Trisila; Ekasila pandangan hidup atau landasan
pijak pemikiran, sedangkan
implementasi tindakan yang tumbuh kembang bersumber dari (Bhinneka Tunggal
Ika) keaneka ragaman budaya.
Maka kami yakin-seyakinnya untuk terus mengorbarkan
semangat api perjuangan ini. Bilamana kita kulas dan bedah makna dari pada
Gotong Royong sendiri, maknanya sangat dinamis. Yaitu menuntut pada kita
sebagai generasi bangsa penerus untuk ikut serta wujudkan bakti pengabdian
terhadap ibu pertiwi sebagaimana tersirat Sumpah Pemuda sedangkan di dalam
makna dari Gotong Royong pun mencerminkan daripada Kekeluargaan yang memiliki
sifat Statis, yaitu menuntut pada generasi penerus untuk saling memahami
perbedaan baik dari pemikiran bahkan dalam tindakan. Jadi kedua hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan satu
dengan yang lainnya (seperti 2 sisi mata uang koin) dan menegaskan kepada remaja
untuk selalu Menjadi Alatnya Sejarah, (buku Ir. Soekarno, DBR jilid II).
Pemuda dan Pemudi generasi penerus
bangsa Indonesia harus kritis,
peka dan cerdas agar mampu menangkal
budaya-budaya
barat, kita berkewajiban mewarisi api perjuangan yang telah disuritauladankan
oleh founding father dalam mewujudkan
tujuan hidup bangsa sebagai ‘pejuang
pemikir-pemikir pejuang’ yaitu dalam mempertahankan, mengamalkan,
mensosalisasikan dan mempertajam
Sosio-Nasionalisme dan
Sosio-Demokrasi.
Sosio-Nasionalisme
tersirat jelas pada, Misi
Indonesia yaitu Kebangsaan
dan Internasionale-Prikemanusian. Sedangkan
Visi Indonesia yaitu Persatuan dan Musyawarah Mufakat tersirat
jelas pada Sosio-Demokrasi. Tak
ketinggalan sebagai jati diri bangsa dan Negara yang meyakini adanya
spritualisme tiada zat yang lebih kuasa dari yang berkuasa. Tanpa ridhonya
bangsa besar mana pun tidak akan mampu mewujudkan cita-citanya bahkan
memerdekakan harga diri sendiri yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jikalau
kita pernah membaca Dibawah Bendera Revolusi jilid I, Soekarno di hal. 32
Berjudul “Dimana Tinjumu”, kita
akan memahami kinerja dan sasaran yang kita maksud, yaitu : “Kita harus memerangi segala hal-hal yang
menambah kemelaratan rakyat itu; memerangi segala hal-hal yang memberatkan
kehidupannya rakyat, yang karena terlalu besarnya bevolkingsaanwas (tambahnya
penduduk), memang sudah berat adanya; memerangi segala hal-hal yang mengecilkan persediaan rezeki rakyat
tadi. Sebab, asal rezeki cukup, asal makanan tak kurang, maka sebagai yang kita
terangkan dimuka, tak akanlah rakyat menderita tak kecukupan dan kekurangan,
tak akanlah overbevolking terasa, walau bevolkingsaanwas (tambahnya penduduk)
yang bagaimana pun juga. Karenanya, haruslah kita melawan segala keadaan yang
mengecilkan persediaan makanan rakyat itu………”.
Telah
dijelaskan bahwa perjuangan Revolusi kita
Belumlah
Selesai
selama janji Amanat Penderitaan Rakyat belum terwujud dan masih terbelenggu di
dalam sangkar emas imperialis, kolonialis dan kapitalis atau bahkan penindasan
oleh bangsa kita sendiri (Neoliberal). Artinya agenda dalam mewujudkan
Indonesia merdeka masih di tumpuk dalam brangkas pegingkaran Pemerintahan
boneka Neokolim dan Neoliberal, bukti nyata pemerintah boneka Neokolim
menyampingkan program agenda kerja yang berpihak pada pemberdayaan kaum muda dan masyarakat di tingkat pedesaan dan
perkotaan, mereka sibuk dengan citranya sendiri.
Akibatnya
para remaja hanya sanggup memahami ketimpangan sosial yaitu tranfer budaya yang individualis, oportunis, pesimistis
dan materialistis. Tidak hanya masalah itu saja, masih banyak pula kita temukan
praktek-praktek ketidak-adilan
dalam segala bidang aktivitas merugikan bagi perkembangan kaum muda sendiri dan generasi bangsa
dipedesaan maupun perkotaan sehari-hariannya. Tidak etis para generasi penerus
bangsa Indonesia hanya berpangku tangan, bertengkar sendiri, menuruti ego
sendiri dan bila saja pada
akhirnya pemuda dan pemudi dipercaya rakyatnya untuk memimpin bangsanya namun menyalah-gunakan
tugas dan wewenangnya yang
diembankan pada pundaknya.
Hal inilah yang menjadikan pekerjaan rumah saya
sebagai salah satu pelaku sejarah di tahun 1998-1999. Oleh sebab itu, kenapa
saya beranikan diri maju dalam pemilu legislative di tangal 09 Mei 2014 nanti.
Karena saya ingin menyelesaikan pekerjaan saya sebagai aktivis di tahun
1998-1999 yang tertunda.
Kesimpulan
Gerakan pemuda pelajar dan mahasiswa adalah agent
kekuatan dalam mendobrak ketidak-setabilan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah di bidang politik, ekonomi dan budaya. Kekuatan mereka telah menjadi
fenomena social politik dan budaya sejak awal yang lalu. Peran pemuda pelajar
dan mahasiswa pada saat-saat tertentu begitu kuatnya dan menyita perhatian
kita. Diberikan gelar sebagai “Kekuatan Moral” yang datang pada saat keresahan,
kekacauan dan pergi pada saat kondisi situasi sosial sudah mengalami stabil.
Pergerakan mereka menghancurkan mitos-mitos yang
diciptakan dan yakini kaum konservatif “Tinggalkan mereka sendiri dan mereka
akan hancur sendiri”, namun pergerakan pemuda pelajar dan mahasiswa diberbagai
belahan dunia telah membuat mitos tersebut hanya sekedar mitos belaka. Berawal
dari pergerakan Pemuda pelajar dan Mahasiswa yang berakar dari Manifesto
Cordoba 1918 di Argentina dan Amerika Latin. Lalu memuncak pada gerakan di
bulan Mei 1968 Prancis dan seluruh Eropa.
oleh :
Mantan aktivis 1998 dari Alumni GMNI Jakarta
Soni Eka Andi Wijaya
Calon Legislatif Dapil III Jawa Timur nomer Caleg 5
Dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !