Hampir setahun lamanya perempuan tua itu bekerja, tetapi pekerjaannya itu belum juga selesai. Padahal hampir setiap hari, bila hari tidak hujan, menjelang senja hingga matahari terbenam ia mengerjakan pekerjaan itu. Dan orang-orang sekitar melihatnya. Maka tak heran apabila apa yang dikerjakannya itu lalu menjadi pergunjingan seru.
Pada mulanya, hanya beberapa orang saja yang membicarakannya, kemudian merembet ke seluruh desa yang terletak di pinggir Sungai Brantas, dimana perempuan itu bekerja. Antara lain, pergunjingan mereka itu demikian: “Wong cuma nggambar air , kok, ndak selesai-selesai. Padahal hampir setahun kerja,” kata Orang Pertama. “Lo apa iya dia itu nggambar sungai? Setahuku ia nggambar seorang lelaki muda berusia belasan tahun. Barangkali anaknya, anak yang sangat dicintainya, tapi anak itu meninggal, gitu! Makanya ia selalu terkenang dan anaknya itu lalu digambar. Kasihan ya?” Orang Kedua menyahuti dengan penuh perasaan. “Ah, setahu saya dia tidak nggambar lelaki muda. Dia nggambar kelelawar buanyaaaak sekali. Maksud saya, kawanan kelelawar yang melintas di atas sungai. Kelelawar yang pulang ke sarangnya di senja hari, ketika langit Barat semburat merah disaput mega-mega seputih kapas. Indah sekali.” Orang Ketiga berpendapat lain. “Oya benar. Dia memang menggambar air sungai. Yang jelas bukan air Kali Brantas.” Orang yang baru datang, sebut saja Orang Keempat, menanggapi dengan semangat. “Dari mana kamu tahu kalau itu bukan Kali Brantas? Orang Pertama penasaran, teman-temannya menyimak. “Ya tahu, to. Kali Brantas, kan, kotor dan rumah-rumah yang ada di pinggirnya jelek-jelek. Sedangkan kali yang digambar perempuan tua itu kalinya bersih dan rumah yang ada di pinggir kali bagus-bagus, gedong-gedong! Airnya juga kinclong seperti kaca. Lalu di sungai itu ada kapal-kapal kecil segala , yang naik londo-londo, ya. Seperti yang ada di film-film di teve, film luar negeri itu, lo. Barangkali, perempuan tua itu pernah tinggal di luar negeri jadi bisa nggambar kali bersih dan rumah-rumah serta kapal-kapal kecil yang bagus dinaiki londo. Hebat ya! Orang Keempat memberi argumentasi. “Apa iya? Aku kok ndak lihat gambar sebagus itu. Yang kulihat perempuan tua itu hanya memandangi air sambil berdiri di depan kain putih,” datang lagi seseorang ikut berbicara, sebut saja ia Orang Kelima. “Kain putih itu namanya kanvas!” Orang Ketiga memenggal kalimat Orang Kelima. “Ya, ya, dia hanya berdiri seperti patung di depan kanvas sambil memegangi alat-alat gambarnya, kuas dan cat di atas piring ceper, mulutnya komat kamit, matanya berair menerawang jauh. “Kayaknya dia menangis. Sungguh bikin trenyuh.” Orang Kelima memberi kesaksian berbeda. “Trenyuh, sih, trenyuh, boleh saja. Tapi jangan nyebut piring ceper. Yang kayak piring cerpen itu namanya palet, untuk tempat cat yang dipakai nggambar.” Orang Ketiga meluruskan lagi kalimat Orang Kelima. Yang lainnya mengangguk-angguk memahami istilah peralatan untuk melukis. Sedangkan Orang Kelima tertawa, sambil minta maaf karena tidak tahu nama-nama peralatan unyuk melukis. Setelah minta maaf, ia melanjutkan kalimatnya lagi, “Saya penasaran. Apa, sih, sebetulnya yang dikerjakan perempuan tua itu? Dan siapa dia sebenarnya?” Kelima orang itu saling berpandang-pandangan. Mereka baru menyadari bahwa perempuan tua itu adalah perempuan asing. Maksudnya bukan penduduk sekitar Sungai Brantas. Ia orang pendatang. Biasanya, ia datang ke Sungai Brantas setiap menjelang senja dan meninggalkan tempat ketika matahari terbenam. Setiap kali datang, ia selalu membawa sebuah keranjang besar berisi alat-alat untuk melukis dan sebuah tas besar untuk tempat kanvas dan sandarannya. Sedangkan pakaian yang dikenakannya selalu sama: stelan celana panjang komprang dipadu blus model oblong, bahannya terbuat dari kain belacu. Lalu rambutnya yang putih diikat dengan pita hitam yang mirip selendang sutera Cina. Kakinya? Oh ya, ia selalu mengenakan sepatu sandal model terompah, warnanya coklat, secoklat kulitnya yang masih segar walau usianya telah memasuki 60 tahun. Tangannya? Bentuknya langsing, selangsing tubuhnya yang tingginya sekitar lima kaki dan masih tegak. Sedangkan jemarinya tidak lentik, tapi cukup panjang dan begitu dinamis ketika menyaputkan kuas di atas permukaan kanvas. Biasanya, ia melukis sambil duduk di atas sebuah bongkahan batu yang menghadap ke alir Sungai Brantas. Bongkahan batu itu berada di di bawah rindangnya pohon-pohon waru yang berbunga bak lampion-lampion. “Apa perempuan tua itu dari Surabaya?” tiba-tiba Orang Kedua berbicara. “Orang Pertama dan Keempat menggeleng. Orang Kelima berpendapat lain. “Barangkali dia dari Malang atau Batu!” “Dari mana kamu tahu?” tanya Orang Pertama dan yang lainnya menantikan jawaban. “Karena dia sering diantar jemput mobil berplat N, bukan?” sahut Orang Keempat. “Tapi saya beberapa kali melihat ia diantar dan dijemput mobil berplat L, Surabaya!” Orang Kedua berkomentar sambil mengingat-ingat. “Aku beberapa kali melihat dia naik taksi,” sela Orang Kelima. “Aku pernah melihat dia diantar sepeda motor. Itu lo, Mo-de, motor gede! Orang bilang namanya motor Harley Davidson! Orang pertama ikut memberi info. “Ya, ya…saya juga pernah melihat itu. Aduh, nyentrik banget. Soalnya dia pakai helm dan jaket kulit !” Dua di antara mereka memberi sambutan sambil tertawa. “Ya, perempuan tua itu memang eksentrik dan cuek!” Orang Keempat berbicara nyaring, “Saking cueknya, dia tidak pernah mempedulikan kita. Ia selalu asyik dengan pekerjaannya walau kita mendekatinya, melihat pekerjaannya.” “Itu, sih, bukan cuek. Dia itu sombong, angkuh, mentang-mentang orang kota! Tiba-tiba Orang Pertama ngotot. “Ndak, ndak! Dia ndak sombong!” sanggah Orang Keempat, “Dia perempuan yang ramah.” “Ramah? Ramah apanya?” Orang Pertama melotot, teman-temannya saling berpandangan. “Ya, memang ramah,” Si Orang Keempat mempertahankan pendapatnya, “Soalnya aku pernah menyapanya dan dijawab dengan ramah. Kalau kebetulan berpapasan denganku, ia juga menyapaku dengan sapaan merdu, ‘Halo, Dik. Apa kabar?’” “Dia selalu tersenyum manis kalau melihatku,” Orang Kedua angkat bicara. “Kalau sama aku, kok, diam saja!” Orang Pertama tampak kesal. “Tapi, sudahlah. Ndak ditegur dia juga ndak patheken. Lagipula buat apa mikirin perempuan gila itu?” “Huss, dia bukan perempuan gila!” seru teman-temannya serentak. “Jangan gitu ah,” yang lain menegaskan. “Jangan gitu bagaimana? Dia memang perempuan gila. Kalau tidak gila, mana munkin hampir satu tahun kerjanya di pinggir Kali Brantas cuma nggambar air dan gambarnya tidak jadi-jadi. Coba kalau dia perempuan waras, bukankah akan tinggal di rumah dam momong cucu? Atau masak serta melayani suami? Atau memang dia tidak punya suami? Perempuan enggak laku. Perawan tua, gitu?” “Hussssss! Stop! seru Orang Keempat, “Mengapa kamu menghujat dia?” sambungnya sambil memandangi Orang Pertama dengan pandangan tak suka. “Salah apa dia?” Orang Pertama diam. Juga yang lainnya. Bersamaan dengan itu, perempuan tua yang sedang mereka pergunjingkan itu tiba. Kali ini ia tidak diantar mobil berplat N maupun berplat L. Ia juga tidak naik taksi atau naik motor besar. Namun, ia naik sebuah mini bus bersama rombongan sekitar delapan orang lelaki dan perempuan. Badan mini bus itu bertuliskan nama sebuah stasiun teve swasta. “E..! E…! Hai… ada syoting pilem! Ada syoting pilem!” teriak serombongan anak-anak yang tiba-tiba datang dan langsung mengerumuni mini bus serta orang-orang yang sibuk mengatur peralatan syuting. “Oh ya, ada syoting,” kata mereka yang baru saja bergunjing, serempak, sambil memperhatikan kerumunan itu. “Siapa yang disyoting?” tanya Orang Pertama. “Perempuan tua itu. Lihat, lihat! Seru Orang Kedua. “Yuk, kita ke sana!” ia lalu mengajak teman-temannya. Benar, perempuan tua itu yang menjadi obyek pengambilan gambar dengan pose sedang melukis aliran air Sungai Brantas. Bersamaan dengan itu, seorang reporter yang berparas mirip artis sinetron, merekam laporannya di depan sorotan kamera video, demikian: “Pemirsa. Kali ini kami menghadirkan seorang tamu, yaitu pelukis kita yang selama ini bermukim di Bumi Kanguru. Begitu banyak pengalaman batin yang ia peroleh selama di sana. Di antaranya dituangkan dalam koleksi karyanya yang ia beri judul Tetes Tetes Puisi Air. Nah, pemirsa, Tetes Tetes Puisi Air akan dipamerkan dan dilelang mulai besuk malam. Seluruh hasil lelang akan diberikan sebagai bea siswa anak-anak di desa ini…” “Cut!” seru si pengarah reporter. |
AIR MATA DI NISAN IBU
Written By yori_prihartono on Jumat, 23 September 2011 | Jumat, September 23, 2011
Label:
CERPEN